Rabu, 13 Oktober 2010

Munasabatul Ayat

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan semua pengikutnya hingga akhir zaman.
Di antara bukti kemukjizatan Nabi Muhammad adalah diberikannya kitab suci Al-Qur’ân secara tawâtur dan berbahasa Arab, yang kemudian termaktub dalam mushhaf. Kandungan pesan Ilâhi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap Al-Qur’ân, kehidupan, pemikiran, dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Sejumlah pengamat Barat memandang Al-Qur’ân sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dimengerti. Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya membutuhkan banyak kitab Tafsir dan 'Ulûm Al-Qur’ân. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia Al-Qur’ân dengan sempurna.
'Ulûm Al-Qur’ân sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab 'Ulûm Al-Qur’ân yang sangat berpengaruh hingga saat ini, yakni Al-Burhân fî 'Ulûmil Qur'ân karya Badrud-dîn Az-Zarkasyi (wafat 794 H.) dan Al-Itqân fî 'Ulûmil Qur'ân karya Jalâlud-dîn As-Suyûthi (wafat 911 H.).
Ilmu Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari 'Ulûmul Qur'ân. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat Al-Qur'ân sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Hubungan inilah yang Insya Allah akan kami bahas pada makalah ini. Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsîr; Al-Qur'ân yufassiru ba'dhuhû ba'dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami Al-Qur'ân harus utuh, jika tidak maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-potong).
Kami berharap, semoga makalah ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan pengetahuan dan keilmuan. Dan akhirnya, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan sebagai modal dan bekal kami di masa yang akan datang.

A. Sejarah
Orang pertama yang membahas munâsabah dalam menafsirkan Al-Qur'ân adalah Abû Bakar An-Naisâbûry (wafat 324 H.). As-Suyûthi berkata; "Setiap kali beliau (An-Naisâbûry) duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur'ân kepadanya, beliau berkata; "Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?". Beliau mengkritik ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui".
Tindakan An-Naisâbûry merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau memiliki kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antar ayat ataupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, dan segi pro atau kontra terhadap apa yang beliau cetuskan. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai "Bapak Ilmu Munâsabah". Perkembangan selanjutnya, munâsabah menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur'ân.
Di antara ulama yang menyusun kitab khusus yang membahas munâsabah adalah Abû Ja'far Ahmad bin Ibrâhîm bin Az-Zubair Al-Andalusiy (wafat 807 H.) dengan kitab yang bernama Al-Burhân fî Munâsabati Tartîbi Suwaril Qur'ân dan Burhânud-dîn Al-Biqa'î dalam kitabnya Nazhmud Durar fî Tanâsubil Âyâti was Suwar.

B. Pengertian
Menurut Al-Imâm Abdurrahmân bin Abû Bakar As-Suyûthi, kata “munâsabah” secara etimologi (bahasa) berarti al-musyâkalah (keserupaan) dan al-muqârabah (kedekatan). Adapun menurut terminologi (istilah), munâsabah dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Menurut Az-Zarkasyi, munâsabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2. Menurut Mannâ' Al-Qaththân, munâsabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara sûrah di dalam Al-Qur’ân.
3. Menurut Ibn Al-‘Arabi, munâsabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’ân sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.

C. Manfaat Ilmu Munâsabah
Pengetahuan mengenai munâsabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.
Az-Zarkasyi menyebutkan bahwa manfaat munâsabah adalah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungan menjadi kuat, bentuk susunannya menjadi kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh. Qâdhî Abû Bakar Ibn Al-‘Arobi menjelaskan bahwa mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu besar.
Neraca yang dipegang dalam menerangkan macam-macam munâsabah, kembali kepada derajat tamâtsul (kesamaan) atau tasyâbuh (keserupaan) antara maudhû’-maudhû’ (obyek, sasaran, pembahasannya)-nya. Maka jika munâsabah itu terjadi pada urusan-urusan yang bersatu dan berkaitan awal dan akhirnya, maka itulah munâsabah yang dapat diterima akal dan dipahami. Tetapi jika munâsabah itu dilakukan terhadap ayat-ayat yang berbeda-beda sebabnya dan urusan-urusan yang tidak ada keserasian antara satu dengan yang lainnya, maka tidak dikatakan tanâsub (bersesuaian) sama sekali.
Sangat sulit mencari munâsabah antara surat dengan surat, karena jarang sekali sesuatu itu dapat sempurna dengan suatu ayat. Karenanya beriring-iringlah beberapa ayat dalam satu maudhû’ untuk tafsir, ‘athaf dan bayân, istitsnâ’, hashr, hingga ayat-ayat yang beriringan itu nampaklah ayat-ayat yang satu sama lain merupakan sebanding dan bersamaan dalam satu kelompok.
Untuk menemukan korelasi antar ayat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.

D. Jenis Munâsabah
Para ulama yang menekuni ilmu munâsabah Al-Qur'ân mengemukakan bahkan membuktikan keserasian yang dimaksud, setidak-tidaknya hubungan itu meliputi;
1. Hubungan antara satu surat dengan surat sebelumnya. Satu surat berfungsi menjelaskan surat sebelumnya. Misalnya, di dalam surat Al-Fâtihah ayat 6 disebutkan:
Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Lalu dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur'ân, sebagaimana disebutkan:
Artinya: “Kitab (Al-Qur’ân) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.

2. Hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat. Nama surat biasanya diambil dari suatu masalah pokok di dalam satu surat. Misalnya surat An-Nisâ’(perempuan) karena di dalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.

3. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Misalnya surat Al-Mu’minûn dimulai dengan:
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian diakhiri dengan:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”.

4. Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat. Misalnya kata muttaqîn di dalam surat Al-Baqarah ayat 2, dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa.

5. Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surat Al-Fâtihah ayat 1: “Segala puji bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”.

6. Hubungan antara fâshilah dengan isi ayat. Misalnya di dalam surat Al-Ahzâb ayat 25 disebutkan:
Artinya: “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan”.
Artinya: “Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
7. Hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya. Misalnya penutup surat Al-Wâqi’ah:
Artinya: “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar”.
Lalu surat berikutnya, yaitu surat Al-Hadîd ayat 1:
Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah), dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

KESIMPULAN
1. Yang pertama kali membahas munâsabah dalam menafsirkan Al-Qur'ân adalah Abû Bakar An-Naisâbûry (wafat 324 H.) sehingga beliau dipandang sebagai "Bapak Ilmu Munâsabah". Pada perkembangan selanjutnya, munâsabah menjadi salah satu cabang ilmu-ilmu Al-Qur'ân.
2. Ilmu munâsabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara sûrah di dalam Al-Qur’ân.
3. Di antara manfaat ilmu munâsabah adalah;
• Memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa.
• Membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur'ân.
4. Neraca yang dipegang dalam menerangkan macam-macam munâsabah, kembali kepada derajat tamâtsul (kesamaan) atau tasyâbuh (keserupaan) antara maudhû’-maudhû’ (obyek, sasaran, pembahasannya)-nya.
5. Untuk menemukan korelasi antar ayat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.
6. Jenis-jenis munâsabah setidaknya meliputi:
• Hubungan antara satu surat dengan surat sebelumnya.
• Hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat.
• Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat.
• Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat.
• Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat.
• Hubungan antara fâshilah dengan isi ayat.
• Hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya.
Wallahu a'lam


DAFTAR PUSTAKA
1. Ashim W. Al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur'an (Pustaka Amzah, 2005), cet. I
2. Al-Qaththân, Mannâ', Mabâhits fî 'Ulûmil Qur'an (Dârur Rasyîd, cet. III)
3. Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur'an (Pustaka Rizky Putra, Semarang, 2002), cet. II
4. Shihab, Quraisy, dkk., Sejarah Dan Ulumul Qur'an (Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001)

Fiqh Ibadah (Thaharah)

THAHÂRAH

Thahârah menurut bahasa adalah bersih dan terbebas dari kotoran. Sedangkan menurut syara’, thahârah adalah menghilangkan pencegah (terhadap ibadah) yang terdiri dari hadats dan najis .
Hadats terbagi menjadi dua; hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil dapat dihilangkan dengan cara wudhû’, sedangkan hadats besar dihilangkan dengan cara mandi. Selain wudhû’ dan mandi, thahârah pun dapat dilakukan dengan cara tayammum.

A. WUDHÛ’
1. Definisi Wudhû’ (Ta’rîf)
Secara etimologi (bahasa), wudhû’ berarti nazhôfah (kebersihan) . Sedangkan secara terminologi (istilah), wudhû’ adalah penggunaan air pada anggota badan tertentu yang dimulai dengan niat .

2. Dasar-dasar Wudhû’ (Al-Adillah)
a. Al-Qur’ân Al-Karîm
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Q.S. Al-Mâidah: 6)
b. Al-Hadîts
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
Artinya: Diceritakan dari Abu Hurairah, beliau berkata, "Rasulullôh SAW bersabda: "Tidaklah diterima sholatnya seseorang yang berhadats sampai ia berwudhû'"

3. Syarat-syarat Wudhû’ (Syurûthul Wudhû’)
a. Ada air muthlaq (air yang tidak terikat pada salah satu nama) .
b. Mengalirnya air pada anggota yang dibasuh.
c. Tidak ada sesuatu yang dapat merubah air pada anggota wudhû’, seperti minyak za’farôn.
d. Tidak ada penghalang yang menghalang-halangi antara air dan anggota wudhû’, seperti lilin.
e. Masuk waktu shalat bagi orang yang selalu hadats (dâ-imul hadats).

4. Kefardhuan Wudhû’ (Furûdhul Wudhû’)
a. Niat (ketika pertama kali membasuh bagian dari wajah)
b. Membasuh seluruh wajah
c. Membasuk kedua tangan sampai dengan / beserta siku
d. Mengusap sebagian kepala
e. Membasuh kedua kaki sampai dengan / beserta kedua mata kaki
f. Tertib / berurutan.

5. Kesunatan Wudhû’ (Sunanul Wudhû’)
a. Bersiwak
b. Membaca basmalah
c. Membasuh kedua telapat tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air.
d. Berkumur
e. Memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali
f. Memperluas basuhan wajah dan kedua tangan (ghurroh dan tahjîl)
g. Mengusap seluruh kepala
h. Mengusap kedua telinga
i. Menyelingi / menyela-nyelai jenggot yang tebal, jari-jari tangan dan kaki
j. Mendahulukan anggota wudhû’ yang kanan dari pada yang kiri
k. Meniga-kalikan basuhan dan usapan
l. Berturut-turut / terus menerus
m. Berdoa setelah wudhû’.

6. Hal-hal Yang Membatalkan Wudhû’ (Mubthilâtul Wudhû’)
a. Keluarnya sesuatu dari kemaluan (depan dan belakang)
b. Tidur
c. Hilangnya akal
d. Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahrom tanpa penghalang
e. Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan

7. Bacaan / Doa Ketika Wudhû’ (Ad'iyatul Wudhû’)
a. Ketika membasuh dua telapak tangan
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْيُمْنَ وَالْبَرَكَةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الشُّؤْمِ وَالْهَلَكَةَ
b. Ketika hendak berkumur
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى تِلاَوَةِ كِتَابِكَ وَكَثْرَةِ الذِّكْرِ لَكَ
c. Ketika hendak memasukkan air ke dalam hidung
اللَّهُمَّ أَوْجِدْ لِي رَائِحَةَ الْجَنَّةِ فِي الْجَنَّةِ وَأَنْتَ عَنِّي رَاضٍ
d. Ketika mengeluarkan air dari hidung
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ رَوَائِحِ النَّارِ وَمِنْ سُوءِ الدَّارِ
e. Ketika hendak membasuh wajah
اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِي بِنُورِكَ يَوْمَ تُبَيِّضُ وُجُوهَ أَوْلِيَائِكَ وَلاَ تُسَوِّدْ وَجْهِي بِظُلُمَاتِكَ يَوْمَ تُسَوِّدُ وُجُوهَ أَعْدَائِكَ
f. Contoh niat wudhû' (dibaca dalam hati ketika air pertama kali menyentuh bagian wajah)
نَوَيْتُ الْوُضُوءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلأَصْغَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
g. Ketika membasuh tangan kanan
اللَّهُمَّ أَعْطِنِي كِتَابِي بِيَمِينِي وَحَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا
h. Ketika membasuh tangan kiri
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ تُعْطِيَنِي كِتَابِي بِشِمَالِي أَوْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
i. Ketika hendak mengusap sebagian kepala
اللَّهُمَّ غَشِّنِي بِرَحْمَتِكَ وَأَنْزِلْ عَلَيَّ مِنْ بَرَكَاتِكَ وَأَظِلَّنِي تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِكَ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّكَ


j. Ketika mengusap dua telinga
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِِي مِنَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ اللَّهُمَّ أَسْمِعْنِي مُنَادِيَ الْجَنَّةِ فِي الْجَنَّةِ مَعَ اْلأَبْرَارِ
k. Ketika mengusap tengkuk (menurut qoul dho'îf / pendapat yang lemah)
اللَّهُمَّ فُكَّ رَقَبَتِي مِنَ النَّارِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ السَّلاَسِلِ وَاْلأَغْلاَلِ
l. Ketika membasuh kaki kanan
اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمَيَّ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ اْلأَقْدَامُ
m. Ketika membasuh kaki kiri
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ تَزِلَّ قَدَمَايَ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ أَقْدَامُ الْمُنَافِقِينَ فِي النَّارِ
n. Doa setelah selesai wudhû'
أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

8. Hikmah / Falsafah Wudhû’
a. Hikmah / falsafah yang berkaitan dengan lahiriah
Yang pertama kali dibasuh adalah kedua telapak tangan karena merupakan anggota tubuh yang paling sering digunakan untuk menyentuh sesuatu seperti berjabat tangan, menampar, dan sebagainya. Kemudian berkumur karena mulut merupakan sumber bau yang keluar dari perut. Selain mengeluarkan bau tak sedap, di dalam mulut juga terdapat bekas-bekas makanan yang terselip di antara gigi-gigi. Dan juga untuk mengetahui bau air, apakah berubah dari keadaan asalnya atau tidak.
Kemudian memasukkan dan mengeluarkan air dari hidung untuk menghilangkan bau dan kotoran yang ada di dalamnya. Selain itu juga untuk mengetahui bau air. Lalu membasuh wajah untuk membersihkan keringat dan debu, karena wajah merupakan anggota yang pertama kali dilihat ketika bertemu dan berhadap-hadapan. Setelah itu membasuh kedua tangan. Hikmah membasuhnya adalah karena kedua tangan selalu terbuka sehingga sangat memungkinkan banyak kotoran yang menempel. Kepala diusap karena merupakan sumber keringat yang cepat keluar. Alloh tidak mewajibkan membasuh kepala karena adanya kesulitan.
Setelah itu mengusap kedua telinga untuk menghilangkan debu yang terbawa angin. Lalu mengusap tengkuk (bagian belakang kepala) agar bagian-bagian kepala menjadi bersih secara sempurna. Selanjutnya membasuh kedua kaki karena tempat menempelnya kotoran, khususnya yang terjadi pada orang-orang yang memakai sepatu. Ini seringkali terlihat pada orang-orang Eropa dan orang muslim yang tinggal di Eropa yang tidak sholat.

b. Hikmah / falsafah yang berkaitan dengan batiniah
Tujuan membasuh anggota wudhû' adalah untuk menghilang dosa-dosa yang diperbuat oleh anggota tersebut; membasuh kedua tangan dapat menghilangkan dosa-dosa yang berhubungan dengan tangan karena tangan adalah alat untuk memukul, menampar, dan lain sebagainya. Berkumur dapat menghilangkan kotoran (dosa) membicarakan orang lain (ghîbah) dan mengadu domba (namîmah), karena ghîbah memiliki bau yang sangat busuk seperti bangkai yang dapat tercium oleh orang-orang yang diberikan keimanan yang benar dan hati yang bersih oleh Alloh SWT.
Begitu pula telinga yang merupakan anggota tubuh yang mendengar ucapan jelek dan tidak berguna. Hidung dibasuh karena merupakan anggota tubuh yang mencium bau yang tidak sedap. Dan juga wajah yang memiliki mata, dibasuh karena mata adalah anggota tubuh yang melihat aurat dan hal-hal yang diharamkan. Kedua kaki dibasuh karena keduanya melangkah untuk perjalanan yang diharamkan seperti pergi ke tempat maksiat, toko minuman keras, dan tempat-tempat ghîbah dan namîmah.

B. MANDI
1. Definisi Mandi
Secara bahasa, mandi (ghusl) berarti mengalirkan air atas sesuatu. Sementara menurut syari'at, mandi adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan niat tertentu

2. Hal-hal yang Menyebabkan Mandi
a. Bertemunya dua khitan (alat kelamin) laki-laki dan perempuan (bersetubuh).
b. Keluar mani
c. Haidh
d. Nifas
e. Melahirkan
f. Mati

3. Kefardhuan Mandi
a. Niat
b. Menghilangkan najis yang ada pada badan
c. Meratakan air ke seluruh kulit dan rambut

4. Kesunatan Mandi
a. Membaca basmalah
b. Berwudhû' sebelum mandi
c. Menggerakkan tangan pada anggota badan yang dapat dijangkau
d. Mendahulukan anggota badan sebelah kanan daripada sebelah kiri
e. Berturut-turut / terus menerus

5. Hikmah / Falsafah Mandi
a. Mandi Setelah Keluar Mani / Sperma
Alloh mewajibkan untuk mandi setelah keluar air mani, bukan setelah keluar air seni, padahal keduanya (air mani dan seni) keluar dari anggota tubuh yang sama. Hal ini karena terdapat hikmah dan rahasia yang mengagumkan;
Air seni berasal dari sisa-sisa makanan dan minuman, sedangkan mani adalah cairan yang berasal dari seluruh bagian-bagian tubuh. Oleh karena itu, keluarnya mani menyebabkan efek / berdampak terhadap tubuh, berbeda halnya dengan seni. Keluarnya mani dapat membuat lesu dan lemasnya tubuh sehingga mengakibatkan malas dan tidak dapat melaksanakan ibadah seperti yang diharapkan.
b. Mandi Setelah Haidh
Seperti halnya mani, haidh juga terbuat / berasal dari seluruh bagian tubuh wanita. Setelah keluar dari haidh, tubuh wanita akan menjadi lemas. Mandi setelah keluar haidh dapat mengembalikan kebugaran tubuh yang hilang ketika masa-masa haidh.
Selain itu, mandi setelah keluar haidh bisa menghilangkan bau tak sedap yang dapat membahayakan tubuhnya dan tubuh suaminya yang menyetubuhinya.

c. Mandi Setelah Nifas
Mandi nifas memiliki dua faidah. Pertama adalah faedah lahiriah, yaitu menghilangkan bau tak sedap yang timbul dari darah melahirkan. Kedua adalah faedah maknawiah, yaitu bersyukur kepada Alloh yang trelah menyelamatkannya dari bahaya melahirkan yang sudah maklum di kalangan wanita.

C. TAYAMMUM
1. Definisi Tayammum
Menurut bahasa, tayammum berarti al-qoshdu (tujuan/kesengajaan). Sedangkan menurut syara' tayammum berarti mengusapkan debu yang suci pada wajah dan kedua tangan sebagai pengganti dari wudhû', mandi, atau membasuh anggota dengan syarat tertentu

2. Dasar Tayammum
Artinya: "Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu". (Q.S. Al-Mâidah: 6)

3. Syarat-syarat Tayammum
a. Adanya 'udzur karena berpergian atau sakit
b. Masuknya waktu shalat
c. Mencari air
d. Tercegah menggunakan air
e. Debu yang suci

4. Kefardhuan Tayammum
a. Niat
b. Mengusap wajah
c. Mengusap kedua tangan samapi dengan siku
d. Tertib
5. Kesunatan Tayammum
a. Membaca basmalah
b. Mendahulukan tangan kanan daripada tangan kiri
c. Berturut-turut / terus menerus

6. Hal-hal yang Membatalkan Tayammum
a. Hal-hal yang membatalkan wudhû'
b. Melihat air di luar waktu shalat
c. Murtad

7. Hikmah / Falsafah
Debu dipilih sebagai pengganti air karena di antara keduanya terdapat banyak kesamaan dan hubungan yang erat. Allah menjadikan setiap sesuatu yang hidup dari air, sedang tanah merupakan materi asal penciptaan manusia (Adam). Jadi penciptaan manusia melibatkan dua unsur, yaitu tanah dan air.
Makanan pokok, baik manusia atau hewan, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hidup dan berkembang biaknya tumbuh-tumbuhan sangat tergantung adanya dua hal, yaitu air dan tanah. Keduanya juga sangat mudah didapat di seluruh penjuru bumi. Ini sejalan dengan prinsip dalam syariat yang selalu berusaha agar mudah dijalankan dan tidak memberatkan.
Anggota tubuh yang diusap dalam tayammum berbeda dengan wudhû'. Begitu pula aktifitas dalam tayammum berbeda dengan aktifitas dalam mandi. Padahal tayammum sebagai ganti dari keduanya. Apa hikmah dari perbedaan tersebut?
Mengusapkan debu ke kepala dipandang sebagai sesuatu yang buruk, karena hal ini menjadi kebiasaan yang dilakukan manusia yang tertimpa musibah meninggalnya seseorang sebagai ekspresi perasaan tidak menerima takdir Ilahi. Sedang kaki senantiasa bersentuhan dengan debu dalam setiap aktifitasnya.
Tayammum disyariatkan untuk menghindarkan manusia dari kesulitan ketika ada halangan menggunakan air. Maka, gerakan tayammum perlu dibuat lebih sedikit dan ringan agar tujuan utama dalam tayammum tetap terjaga. Seandainya gerakan tayammum disamakan dengan mandi yang wajib meratakan ke seluruh bagian tubuh, niscaya hal ini akan menambah berat perintah besuci, dan hilanglah tujuan utama disyariatkan tayammum.


DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Malîbâri, Zainuddîn bin ‘Abdul ‘Azîz, Fathul Mu’în (Dârul Fikr, 2002)
2. Bin Salâmah, Syihabuddîn Ahmad bin Ahmad, Hasyiyah Qolyûbi (Dârul Fikr, 2005)
3. Al-Jâwî, Muhammad Nawawî bin Umar, Qûtul Habîbil Gharîb (Dârul Fikr, 1996)
4. Al-Mahallî, Al-Imâm Muhammad bin Ahmad, Kanzur Rôghibîn (Dârul Fikr, 2005)
5. As-Syafi’i, Al-Imâm Muhammad bin Qôsim, Fathul Qorîbil-Mujîb (Dârul Fikr, 1996)
6. Bin 'Abdullôh, As-Sayyid 'Utsmân, Maslakul Akhyâr (Syirkah Maktabah Al-Madaniyyah)
7. Bin Syarof, Al-Imâm An-Nawawi Yahyâ, Minhâjuth Thôlibîn (Dârul Fikr, 2005)
8. Al-Jurjâwiy, As-Syaikh 'Ali Ahmad, Hikmatut Tasyrî' Wa Falsafatuhu (Dârul Fikr, Lebanon)
9. Lirboyo, Forum KALIMASADA MHM, Kearifan Syariat (Surabaya, Khalista-Annajma)

Senin, 11 Oktober 2010

Tasawuf Falsafi


TASAWUF FALSAFI
A.  DEFINISI
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullôh) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujûd (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang hal ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.

B.  LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN
Ada tiga konsep tentang ketuhanan yang berakar pada Al-Qur'ân dan Hadîts. Pertama, konsep etikal yang dipelopori dan berkembang di kalangan zuhhâd sebagai bibit permulaan timbulnya tasawuf. Dzat Tuhan dianggap sebagai kekuasaan, daya, dan irâdat  yang mutlak. Tuhan adalah pencipta yang tertinggi dari segala sesuatu termasuk tingkah laku manusia. Kedua, konsep estetikal, yaitu tentang Tuhan dalam estetika (keindahan), di mana tasawuf bersumber dari anggapan bahwa Tuhan dan manusia berjalur timbal balik. Konsep ini pertama kali dimunculkan oleh Rabî'atul Adawiyah di mana rasa kecintaan yang luar biasa kepada Tuhan adalah karakteristik konsepsi ini. Jadi menyembah Tuhan itu ingin mendapat sambutan cinta dari-Nya.
Ketiga, konsep kesatuan wujud (union mistikal), yaitu bahwa dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan karena ia merupakan pancaran dari Nûr Ilâhi. Oleh karena itu jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk kembali bersatu dengan sumber asalnya. Jadi dunia ini hanyalah bayangan dari realita yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang menjadi dasar bagi adanya segala yang ada.[1]
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi, yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf falsafi adalah paham emanasi (pelimpahan) Neo-Plotinus. Contoh filosof muslim yang terkenal membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep Neo-Plotinus ialah Al-Kindi. Dalam filsafat emanasi Plotinus, roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi dan berusaha. Dari sini ditarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhôhir dari asmâ Tuhan.
Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi wihdatul wujûd sebagai karya pikir mistik Ibn Arabi. Sebelum muncul teori Ibn Arabi, seorang sufi penyair dari Mesir Ibn al-Fâridh mengembangkan teori yang sama yaitu wahdatus syuhûd. Pada umumnya konsep ini diterima dan berkembang dari kaum Syî’ah dan bermadzhabkan Mu’tazilah. Makanya nama lain dari tasawuf falsafi juga disebut dengan tasawuf Syî’i. Diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, karena dimungkinkan di sana sudah mengenal filsafat sebelum Islam.
Seperti halnya dalam konsep emanasi, Ibn Arabi menggunakan bentuk pola akal yang bertingkat-tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga dan sampai akal kesepuluh. Di mana ia mencoba menggambarkan bahwa proses terjadinya sesuatu ini berasal dari yang satu (kalau meminjam bahasanya Plotinus ialah The One). Kemudian konsep itu terus disempurnakan bahkan mengalami kritikan dari sufi-sufi yang lain. Contoh sufi yang memperbarui konsep ajaran Ibn Arabi ini ialah Mulla Shadra yang lebih mencoba menggunakan konsep yang rasional dengan istilah Nûr yang mana ia mencoba merujuk dari Al-Qur’ân sendiri bahwa Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya.
Akan tetapi Mulla Shadra membedakan cahaya ke dalam dua kategori, yaitu cahaya yang tidak mempunyai sifat dan cahaya yang menunjukkan sebuah sifat dari barang itu. Contoh cahaya yang menunjukkan sifat dari benda itu ialah cahaya lampu, matahari, cahaya lampu lalu lintas dan lain-lain. Sedangkan cahaya yang tak mengandung sifat benda ialah cahaya Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam bukunya, Syekh Ad-Durrun Nafîs menggambarkan bahwa nûr Tuhan bukan cahaya. Jadi nûr adalah nûr, bukan cahaya.
Bisa kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf falsafi muncul dari ketakjuban para filosof Islam yang mencoba mengombinasikan konsep ajarannya dengan tasawuf. Atau bisa dikatakan konsep tasawuf dikemas dan dipandang dari segi kacamata filosofis, sehingga memunculkan ajaran-ajaran yang sifatnya lebih ke teoritis dan tak lepas dari pengaruh dari konsep emanasinya Plotinus.[2] -[3]
C.  Tokoh-Tokoh
1.   Ibn ‘Arabi
a.  Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullôh Ath-Thâ’iy Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 598 H. (1102 M.). Beliau mengembara dari Andalusia (waktu itu disebut Maghrib atau Barat) ke Timur sesudah menuntut ilmu pengetahuan fiqih di Asybiliyah (Sevilla). Dia juga mengembara ke Mesir, Hijaz, Irak, dan Asia Kecil. Akhirnya dia tinggal sampai wafatnya di Damaskus negeri Syam pada tahun 638 H. (1240 M.).[4]
Kuburnya diziarahi orang sampai sekarang. Karangannya amat banyak, menunjukkan bagaimana luas ilmunya.
Brockelman mencatat di dalam bukunya (Sejarah Kesusastraan Arab) bahwa karangan Ibn 'Arabi itu tidak kurang dari 150 buah. Karangannya yang amat besar ialah "Al-Futuhât Al-Makkiyyah".
Ahli-ahli penyelidik mengakui kepiawaian beliau dalam memilih kata-kata, yang menggabungkan keagamaan denghan filsafat dan sirr (rahasia) yang disembunyikan oleh ahli tasawuf. Sehingga patutlah kalau beliau diberi orang gelar "As-Syaikh Al-Akbar" dan "Al-Kibrît Al-Ahmar" (Belerang Merah). Meskipun beliau seorang sufi yang besar, bila ditilik karangannya nampaklah dia seorang filosof yang mendalam. Sebab itu, jika ahli–ahli penyelidik membicarakan filsafat, Ibn 'Arabi terus dimasukkan, seumpama Al-Ghazâli juga. Dan jika mempelajari tasawuf, Ibn 'Arabi pun kembali masuk pula.

b.   Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn 'Arabi adalah tentang Wihdatul Wujûd (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wihdatul wujûd yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.
Terjadi perbedaan dalam memformulasikan pengertian wihdatul wujûd. Menurut Ibn Taimiyah, wihdatul wujûd adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya, orang-orang yang mempunyai paham wihdatul wujûd mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wâjibul wujûd yang dimiliki oleh Khâliq adalah juga mumkinul wujûd yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wihdatul wujûd itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama saja dengan wujud Tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn 'Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud Khâliq pula. Tidak ada perbedan antara keduanya (Khâlik dan makhluk) dari segi hakikatnya. Perbedaannya hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu. Dari konsep wihdatul wujûd Ibn 'Arabi ini, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan dan cabang dari konsep wihdatul wujûd tersebut, yaitu konsep Al-Haqîqat Al-Muhammadiyyah dan konsep Wahdatul Adyân (kesamaan agama).
Menurut Ibn 'Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:
  • Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yân tsâbitah.
  • Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’âni ke alam ta’ayyunât (realitas-realitas rohaniah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
  • Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
  • Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsâl (ide) atau khayâl.
  • Alam materi, yaitu alam inderawi.
Selain itu, Ibn 'Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhammadiyyah atau Nûr Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungan dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada apapun.
  • Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan, kemudian muncullah wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana dikemukakan di atas.
Dengan demikian Ibn 'Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (creatio ex nihilio).

2.   Al-Jilli
a.  Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karîm bin Ibrâhîm Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi dari sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qâdir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syaikh Syarofuddîn Ismâ'îl bin Ibrâhîm Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.

b.      Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham Insân Kâmil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, insân kâmil adalah nuskhah atau copy Tuhan.[5]
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilâhiyah pada dasarnya merupakan milik insân kâmil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insân kâmil.
Lebih lanjut Al-Jilli berkata bahwa duplikasi al-kamâl (kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia. Al-kamâl dalam konsepnya mungkin dimiliki manusia secara profesional (bil quwwah) dan mungkin pula secara aktual (bil fa'l) seperti yang terdapat dalam diri wali dan Nabi, meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Berkaitan dengan insân kâmil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqâm yang harus dilalui oleh seorang sufi. Dalam istilahnya, maqâm itu disebut al-martabah (jenjang/tingkatan). Martabah-martabah itu adalah:
  • Islâm. Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
  • Îmân. Yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar Islam.
  • Ash-Shalâh. Pada maqâm ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan rajâ’.
  • Ihsân. Maqâm ini menunjukkan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya.
  • Syahâdah. Pada maqâm ini, seorang sufi telah mencapai irâdah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang jadi keinginan pribadi.
  • Shiddîqiyah. Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap dari 'ilmul yaqîn, ‘ainul yaqîn, dan haqqul yaqîn.
  • Qurbah. Ini merupakan maqâm yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan mendekati sifat dan nama Tuhan.

3.   Ibn Sab'în
a.  Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrâhîm Muhammad bin Nashr. Dia pun sebagaimana Ibn 'Arabi juga, dilahirkan di Murcia (Andalusia) pada tahun 613 H. (1215 M.). Mulanya ia seorang ahli fiqih, kemudian tertarik pula mendalami tasawuf, sampai menjadi seorang imam dan mengeluarkan pendapat sendiri tentang tasawuf. Dia mengembara di negeri-negeri Islam setelah Barat. Setelah itu dia pun pergi menunaikan haji dan mengembara di negeri-negeri sebelah Timur dan akhirnya berdiam di Mekah, sampai wafatnya dalam usia 54 tahun.[6]
Tasawufnya menyerupai jalan Tasawuf Suhrowardi dan Ibn 'Arabi, gabungan antara filsafat dan tasawuf, sehingga bisa dikatakan bahwa dia adalah seorang filosof. Kehidupan dan buah pikiran beliau makin lama makin dipelajari oleh ahli-ahli Barat, dan pada masa akhir ini telah ditemukan surat-suratnya yang dikirimkan kepada Frederick II Raja Pruisen yang meninggal tahun 1250 M., yaitu Raja yang sangat terkenal besar perhatiannya kepada ilmu-ilmu dan filsafat Arab. Amari, orientalis bangsa Italia di tahun 1853 M. telah mengumpulkan surat-surat itu dengan nama "Surat-surat dari Sicilia". Dua puluh tahun kemudian, seorang orientalis berbangsa Denmark yang bernama Mahren menyelidiki dan membahas isi surat-surat itu.
Ibn Sab’în meninggalkan 41 buah karya dan menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis, dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan karyanya telah hilang.

b.   Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ibn Sab’în adalah seorang peng-asas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan essential pahamnya sederhana saja, yaitu wujud satu alias wujud Allah semata. Paham ini dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak (Al-Wahdah Al-Muthlaqah). Hal ini karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk.
Dalam pahamnya, Ibn Sab’în menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Wujud Allah, menurutnya, adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dirujukkan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, paham ini menampilkan wujud bercorak spiritual dan bukan material.

4.   Ibn Masarrah
a.  Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdullôh bin Masarrah (269-319 H.). Ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosof dari Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap madzhab Al-Mariyah. Lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Musthafâ Abdul Râziq, Ibn Masarrah termasuk aliran ittihâdiyyah. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazilah, lalu berpaling pada madzhab Neo Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno.

b.   Ajaran-ajaran Tasawufnya
Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut:
·         Jalan menuju keselamatan adalah mensucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
·         Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Ismâ’îliyyah terhadap ayat-ayat Al-Qur’ân, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
·         Siksa neraka bukanlah bentuk yang hakikat.














DAFTAR PUSTAKA
  1. Akhlak Dan Tasawuf , Drs. H. Ishak Solih (IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung)
  2. Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Prof. Dr. Hamka (PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984)
  3. http://mesw.wordpress.com/2007/12/30/tasawuf-filsafat/
  4. http://slendangwetan29.blogspot.com/2008/02/tasawuf-falsafi.html
  5. http://prosesberfikir.blogspot.com/2010/02/resume-ilmu-tasawuf.html


[1] Ishak Solih, Drs. H., Akhlak Dan Tasawuf (IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung), hal. 83
[4] Hamka, Prof. Dr., Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya (PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984), hal. 152
[6] Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, hal. 163

Manusia, Agama, dan Kebudayaan


BAB I
MANUSIA DAN AGAMA

A.    Definisi Agama
  1. Spencer mengatakan bahwa agama adalah “kepercayaan akan sesuatu yang Mahamutlak”.
  2. Dewey menyebutkan agama sebagai “pencarian manusia akan cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang hebat”.
  3. Prof. Dr. Harun Nasution berpendapat bahwa agama adalah “ajaran yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul”.
  4. WC Smith mengatakan, "Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa hingga saat ini belum ada definisi agama yang benar dan dapat diterima".
Lepas dari semua definisi yang ada di atas maupun definisi lain yang dikemukakan oleh para pemikir dunia lainnya, kita meyakini bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya untuk umat manusia demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Dari sini, kita bisa menyatakan bahwa agama memiliki tiga bagian yang tidak  terpisah, yaitu akidah (kepercayaan hati), syari'at (perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak (konsep untuk meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-Nya). Meskipun demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa asas terpenting dari sebuah agama adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang harus disembah.

B.     Mengapa Manusia Harus Beragama?
Untuk menjawab pertanyaan yang mendasar ini, kita harus memikirkan dan mengkaji lebih dalam hal yang mendasar pula, yang berpulang kepada hakikat manusia itu sendiri.
Dalam terminologi Islam, manusia diyakini sebagai makhluk yang selain memiliki sisi hewani yang sarat dengan kebutuhan hewani seperti makan, minum, dan lain sebagainya, ia juga memiliki sisi agung yang dapat menghantarkannya menjadi khalifah Allah di muka bumi. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Sisi kedua manusia ini disebut sebagai sisi rohani. Dari sisi rohani ini, kebutuhan manusia adalah ilmu pengetahuan.
Manusia  merasa  berhak untuk mengetahui apa-apa yang ada di sekitarnya. Hal ini terjadi karena manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali rasa ingin tahu yang muncul dari fitrah-nya. Perasaan inilah yang mendorongnya untuk mengetahui realitas yang ada di sekitarnya dan melakukan banyak eksperimen demi menyingkap tabir misteri yang menyelimuti alam secara umum, termasuk hakikat dirinya sendiri yang merupakan bagian terdekat dengan "diri"nya.
Para ahli teologi  Islam mengatakan bahwa fitrah adalah satu hal yang dibekalkan Allah kepada setiap manusia. Karenanya, ciri-ciri sesuatu yang bersifat fitri adalah tidak dipelajari, ada pada semua manusia, tidak terkurung oleh batas-batas teritorial dan masa, dan tidak akan pernah hilang.
Berawal dari kebutuhan rohani akan ilmu pengetahuan dan rasa ingin tahu, manusia mulai mencari jati dirinya. Fitrah atau naluri yang suci akan mengantarkan manusia pada kesadaran bahwa diluar dirinya –dan juga alam semesta– terdapat sesuatu yang agung. Dzat yang Maha Agung, Maha Esa, dan Maha Berkuasa inilah yang kemudian disembah oleh manusia, serta dijadikan tempat berlindung dan tempat memohon.

BAB II
ISLAM DAN KEBUDAYAAN

Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi penting dari kehidupan manusia, dan Islam pun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.

A.      Arti dan Hakekat Kebudayaan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas.

B.       Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama (termasuk Islam) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini: mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik Ilahi. Bahkan keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasi diri dari roh Ilahi. Sebaliknya, sebagian orang menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan Ilahi. Keyakinan ini disebut iman, dan iman merupakan pemberian Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Q.S. As-Sajdah:7-9: “(Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya".
Selain menciptakan manusia, Allah SWT juga menciptakan makhluk yang bernama malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan setan atau iblis yang hanya bisa berbuat jahat, karena diciptakan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang. Sebaliknya, ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur setanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya“. Dan dalam satu waktu, Islam-lah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman.

C.    Sikap Islam Terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.

Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam;
1.        Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam
Dalam kaidah fiqh disebutkan "al-'adatu muhakkamatun, artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syariat. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kriterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum.

2.        Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam
Kebudayaan seperti ini kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami. Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan thawaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut menjadi bentuk “ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya.

3.        Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam
Seperti, budaya “ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali, yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dengan meriah, gegap gempita dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya.
Hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia. Wallahu a’lam.