Rabu, 13 Oktober 2010

Munasabatul Ayat

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan semua pengikutnya hingga akhir zaman.
Di antara bukti kemukjizatan Nabi Muhammad adalah diberikannya kitab suci Al-Qur’ân secara tawâtur dan berbahasa Arab, yang kemudian termaktub dalam mushhaf. Kandungan pesan Ilâhi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap Al-Qur’ân, kehidupan, pemikiran, dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Sejumlah pengamat Barat memandang Al-Qur’ân sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dimengerti. Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya membutuhkan banyak kitab Tafsir dan 'Ulûm Al-Qur’ân. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia Al-Qur’ân dengan sempurna.
'Ulûm Al-Qur’ân sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab 'Ulûm Al-Qur’ân yang sangat berpengaruh hingga saat ini, yakni Al-Burhân fî 'Ulûmil Qur'ân karya Badrud-dîn Az-Zarkasyi (wafat 794 H.) dan Al-Itqân fî 'Ulûmil Qur'ân karya Jalâlud-dîn As-Suyûthi (wafat 911 H.).
Ilmu Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari 'Ulûmul Qur'ân. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat Al-Qur'ân sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Hubungan inilah yang Insya Allah akan kami bahas pada makalah ini. Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsîr; Al-Qur'ân yufassiru ba'dhuhû ba'dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami Al-Qur'ân harus utuh, jika tidak maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-potong).
Kami berharap, semoga makalah ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan pengetahuan dan keilmuan. Dan akhirnya, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan sebagai modal dan bekal kami di masa yang akan datang.

A. Sejarah
Orang pertama yang membahas munâsabah dalam menafsirkan Al-Qur'ân adalah Abû Bakar An-Naisâbûry (wafat 324 H.). As-Suyûthi berkata; "Setiap kali beliau (An-Naisâbûry) duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur'ân kepadanya, beliau berkata; "Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?". Beliau mengkritik ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui".
Tindakan An-Naisâbûry merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau memiliki kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antar ayat ataupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, dan segi pro atau kontra terhadap apa yang beliau cetuskan. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai "Bapak Ilmu Munâsabah". Perkembangan selanjutnya, munâsabah menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur'ân.
Di antara ulama yang menyusun kitab khusus yang membahas munâsabah adalah Abû Ja'far Ahmad bin Ibrâhîm bin Az-Zubair Al-Andalusiy (wafat 807 H.) dengan kitab yang bernama Al-Burhân fî Munâsabati Tartîbi Suwaril Qur'ân dan Burhânud-dîn Al-Biqa'î dalam kitabnya Nazhmud Durar fî Tanâsubil Âyâti was Suwar.

B. Pengertian
Menurut Al-Imâm Abdurrahmân bin Abû Bakar As-Suyûthi, kata “munâsabah” secara etimologi (bahasa) berarti al-musyâkalah (keserupaan) dan al-muqârabah (kedekatan). Adapun menurut terminologi (istilah), munâsabah dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Menurut Az-Zarkasyi, munâsabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2. Menurut Mannâ' Al-Qaththân, munâsabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara sûrah di dalam Al-Qur’ân.
3. Menurut Ibn Al-‘Arabi, munâsabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’ân sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.

C. Manfaat Ilmu Munâsabah
Pengetahuan mengenai munâsabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.
Az-Zarkasyi menyebutkan bahwa manfaat munâsabah adalah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungan menjadi kuat, bentuk susunannya menjadi kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh. Qâdhî Abû Bakar Ibn Al-‘Arobi menjelaskan bahwa mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu besar.
Neraca yang dipegang dalam menerangkan macam-macam munâsabah, kembali kepada derajat tamâtsul (kesamaan) atau tasyâbuh (keserupaan) antara maudhû’-maudhû’ (obyek, sasaran, pembahasannya)-nya. Maka jika munâsabah itu terjadi pada urusan-urusan yang bersatu dan berkaitan awal dan akhirnya, maka itulah munâsabah yang dapat diterima akal dan dipahami. Tetapi jika munâsabah itu dilakukan terhadap ayat-ayat yang berbeda-beda sebabnya dan urusan-urusan yang tidak ada keserasian antara satu dengan yang lainnya, maka tidak dikatakan tanâsub (bersesuaian) sama sekali.
Sangat sulit mencari munâsabah antara surat dengan surat, karena jarang sekali sesuatu itu dapat sempurna dengan suatu ayat. Karenanya beriring-iringlah beberapa ayat dalam satu maudhû’ untuk tafsir, ‘athaf dan bayân, istitsnâ’, hashr, hingga ayat-ayat yang beriringan itu nampaklah ayat-ayat yang satu sama lain merupakan sebanding dan bersamaan dalam satu kelompok.
Untuk menemukan korelasi antar ayat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.

D. Jenis Munâsabah
Para ulama yang menekuni ilmu munâsabah Al-Qur'ân mengemukakan bahkan membuktikan keserasian yang dimaksud, setidak-tidaknya hubungan itu meliputi;
1. Hubungan antara satu surat dengan surat sebelumnya. Satu surat berfungsi menjelaskan surat sebelumnya. Misalnya, di dalam surat Al-Fâtihah ayat 6 disebutkan:
Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Lalu dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur'ân, sebagaimana disebutkan:
Artinya: “Kitab (Al-Qur’ân) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.

2. Hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat. Nama surat biasanya diambil dari suatu masalah pokok di dalam satu surat. Misalnya surat An-Nisâ’(perempuan) karena di dalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.

3. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Misalnya surat Al-Mu’minûn dimulai dengan:
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian diakhiri dengan:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”.

4. Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat. Misalnya kata muttaqîn di dalam surat Al-Baqarah ayat 2, dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa.

5. Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surat Al-Fâtihah ayat 1: “Segala puji bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”.

6. Hubungan antara fâshilah dengan isi ayat. Misalnya di dalam surat Al-Ahzâb ayat 25 disebutkan:
Artinya: “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan”.
Artinya: “Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
7. Hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya. Misalnya penutup surat Al-Wâqi’ah:
Artinya: “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar”.
Lalu surat berikutnya, yaitu surat Al-Hadîd ayat 1:
Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah), dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

KESIMPULAN
1. Yang pertama kali membahas munâsabah dalam menafsirkan Al-Qur'ân adalah Abû Bakar An-Naisâbûry (wafat 324 H.) sehingga beliau dipandang sebagai "Bapak Ilmu Munâsabah". Pada perkembangan selanjutnya, munâsabah menjadi salah satu cabang ilmu-ilmu Al-Qur'ân.
2. Ilmu munâsabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara sûrah di dalam Al-Qur’ân.
3. Di antara manfaat ilmu munâsabah adalah;
• Memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa.
• Membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur'ân.
4. Neraca yang dipegang dalam menerangkan macam-macam munâsabah, kembali kepada derajat tamâtsul (kesamaan) atau tasyâbuh (keserupaan) antara maudhû’-maudhû’ (obyek, sasaran, pembahasannya)-nya.
5. Untuk menemukan korelasi antar ayat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.
6. Jenis-jenis munâsabah setidaknya meliputi:
• Hubungan antara satu surat dengan surat sebelumnya.
• Hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat.
• Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat.
• Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat.
• Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat.
• Hubungan antara fâshilah dengan isi ayat.
• Hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya.
Wallahu a'lam


DAFTAR PUSTAKA
1. Ashim W. Al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur'an (Pustaka Amzah, 2005), cet. I
2. Al-Qaththân, Mannâ', Mabâhits fî 'Ulûmil Qur'an (Dârur Rasyîd, cet. III)
3. Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur'an (Pustaka Rizky Putra, Semarang, 2002), cet. II
4. Shihab, Quraisy, dkk., Sejarah Dan Ulumul Qur'an (Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001)

1 komentar: