Senin, 11 Oktober 2010

Manusia, Agama, dan Kebudayaan


BAB I
MANUSIA DAN AGAMA

A.    Definisi Agama
  1. Spencer mengatakan bahwa agama adalah “kepercayaan akan sesuatu yang Mahamutlak”.
  2. Dewey menyebutkan agama sebagai “pencarian manusia akan cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang hebat”.
  3. Prof. Dr. Harun Nasution berpendapat bahwa agama adalah “ajaran yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul”.
  4. WC Smith mengatakan, "Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa hingga saat ini belum ada definisi agama yang benar dan dapat diterima".
Lepas dari semua definisi yang ada di atas maupun definisi lain yang dikemukakan oleh para pemikir dunia lainnya, kita meyakini bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya untuk umat manusia demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Dari sini, kita bisa menyatakan bahwa agama memiliki tiga bagian yang tidak  terpisah, yaitu akidah (kepercayaan hati), syari'at (perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak (konsep untuk meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-Nya). Meskipun demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa asas terpenting dari sebuah agama adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang harus disembah.

B.     Mengapa Manusia Harus Beragama?
Untuk menjawab pertanyaan yang mendasar ini, kita harus memikirkan dan mengkaji lebih dalam hal yang mendasar pula, yang berpulang kepada hakikat manusia itu sendiri.
Dalam terminologi Islam, manusia diyakini sebagai makhluk yang selain memiliki sisi hewani yang sarat dengan kebutuhan hewani seperti makan, minum, dan lain sebagainya, ia juga memiliki sisi agung yang dapat menghantarkannya menjadi khalifah Allah di muka bumi. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Sisi kedua manusia ini disebut sebagai sisi rohani. Dari sisi rohani ini, kebutuhan manusia adalah ilmu pengetahuan.
Manusia  merasa  berhak untuk mengetahui apa-apa yang ada di sekitarnya. Hal ini terjadi karena manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali rasa ingin tahu yang muncul dari fitrah-nya. Perasaan inilah yang mendorongnya untuk mengetahui realitas yang ada di sekitarnya dan melakukan banyak eksperimen demi menyingkap tabir misteri yang menyelimuti alam secara umum, termasuk hakikat dirinya sendiri yang merupakan bagian terdekat dengan "diri"nya.
Para ahli teologi  Islam mengatakan bahwa fitrah adalah satu hal yang dibekalkan Allah kepada setiap manusia. Karenanya, ciri-ciri sesuatu yang bersifat fitri adalah tidak dipelajari, ada pada semua manusia, tidak terkurung oleh batas-batas teritorial dan masa, dan tidak akan pernah hilang.
Berawal dari kebutuhan rohani akan ilmu pengetahuan dan rasa ingin tahu, manusia mulai mencari jati dirinya. Fitrah atau naluri yang suci akan mengantarkan manusia pada kesadaran bahwa diluar dirinya –dan juga alam semesta– terdapat sesuatu yang agung. Dzat yang Maha Agung, Maha Esa, dan Maha Berkuasa inilah yang kemudian disembah oleh manusia, serta dijadikan tempat berlindung dan tempat memohon.

BAB II
ISLAM DAN KEBUDAYAAN

Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi penting dari kehidupan manusia, dan Islam pun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.

A.      Arti dan Hakekat Kebudayaan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas.

B.       Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama (termasuk Islam) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini: mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik Ilahi. Bahkan keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasi diri dari roh Ilahi. Sebaliknya, sebagian orang menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan Ilahi. Keyakinan ini disebut iman, dan iman merupakan pemberian Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Q.S. As-Sajdah:7-9: “(Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya".
Selain menciptakan manusia, Allah SWT juga menciptakan makhluk yang bernama malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan setan atau iblis yang hanya bisa berbuat jahat, karena diciptakan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang. Sebaliknya, ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur setanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya“. Dan dalam satu waktu, Islam-lah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman.

C.    Sikap Islam Terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.

Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam;
1.        Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam
Dalam kaidah fiqh disebutkan "al-'adatu muhakkamatun, artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syariat. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kriterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum.

2.        Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam
Kebudayaan seperti ini kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami. Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan thawaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut menjadi bentuk “ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya.

3.        Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam
Seperti, budaya “ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali, yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dengan meriah, gegap gempita dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya.
Hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar