Rabu, 13 Oktober 2010

Fiqh Ibadah (Thaharah)

THAHÂRAH

Thahârah menurut bahasa adalah bersih dan terbebas dari kotoran. Sedangkan menurut syara’, thahârah adalah menghilangkan pencegah (terhadap ibadah) yang terdiri dari hadats dan najis .
Hadats terbagi menjadi dua; hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil dapat dihilangkan dengan cara wudhû’, sedangkan hadats besar dihilangkan dengan cara mandi. Selain wudhû’ dan mandi, thahârah pun dapat dilakukan dengan cara tayammum.

A. WUDHÛ’
1. Definisi Wudhû’ (Ta’rîf)
Secara etimologi (bahasa), wudhû’ berarti nazhôfah (kebersihan) . Sedangkan secara terminologi (istilah), wudhû’ adalah penggunaan air pada anggota badan tertentu yang dimulai dengan niat .

2. Dasar-dasar Wudhû’ (Al-Adillah)
a. Al-Qur’ân Al-Karîm
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Q.S. Al-Mâidah: 6)
b. Al-Hadîts
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
Artinya: Diceritakan dari Abu Hurairah, beliau berkata, "Rasulullôh SAW bersabda: "Tidaklah diterima sholatnya seseorang yang berhadats sampai ia berwudhû'"

3. Syarat-syarat Wudhû’ (Syurûthul Wudhû’)
a. Ada air muthlaq (air yang tidak terikat pada salah satu nama) .
b. Mengalirnya air pada anggota yang dibasuh.
c. Tidak ada sesuatu yang dapat merubah air pada anggota wudhû’, seperti minyak za’farôn.
d. Tidak ada penghalang yang menghalang-halangi antara air dan anggota wudhû’, seperti lilin.
e. Masuk waktu shalat bagi orang yang selalu hadats (dâ-imul hadats).

4. Kefardhuan Wudhû’ (Furûdhul Wudhû’)
a. Niat (ketika pertama kali membasuh bagian dari wajah)
b. Membasuh seluruh wajah
c. Membasuk kedua tangan sampai dengan / beserta siku
d. Mengusap sebagian kepala
e. Membasuh kedua kaki sampai dengan / beserta kedua mata kaki
f. Tertib / berurutan.

5. Kesunatan Wudhû’ (Sunanul Wudhû’)
a. Bersiwak
b. Membaca basmalah
c. Membasuh kedua telapat tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air.
d. Berkumur
e. Memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali
f. Memperluas basuhan wajah dan kedua tangan (ghurroh dan tahjîl)
g. Mengusap seluruh kepala
h. Mengusap kedua telinga
i. Menyelingi / menyela-nyelai jenggot yang tebal, jari-jari tangan dan kaki
j. Mendahulukan anggota wudhû’ yang kanan dari pada yang kiri
k. Meniga-kalikan basuhan dan usapan
l. Berturut-turut / terus menerus
m. Berdoa setelah wudhû’.

6. Hal-hal Yang Membatalkan Wudhû’ (Mubthilâtul Wudhû’)
a. Keluarnya sesuatu dari kemaluan (depan dan belakang)
b. Tidur
c. Hilangnya akal
d. Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahrom tanpa penghalang
e. Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan

7. Bacaan / Doa Ketika Wudhû’ (Ad'iyatul Wudhû’)
a. Ketika membasuh dua telapak tangan
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْيُمْنَ وَالْبَرَكَةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الشُّؤْمِ وَالْهَلَكَةَ
b. Ketika hendak berkumur
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى تِلاَوَةِ كِتَابِكَ وَكَثْرَةِ الذِّكْرِ لَكَ
c. Ketika hendak memasukkan air ke dalam hidung
اللَّهُمَّ أَوْجِدْ لِي رَائِحَةَ الْجَنَّةِ فِي الْجَنَّةِ وَأَنْتَ عَنِّي رَاضٍ
d. Ketika mengeluarkan air dari hidung
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ رَوَائِحِ النَّارِ وَمِنْ سُوءِ الدَّارِ
e. Ketika hendak membasuh wajah
اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِي بِنُورِكَ يَوْمَ تُبَيِّضُ وُجُوهَ أَوْلِيَائِكَ وَلاَ تُسَوِّدْ وَجْهِي بِظُلُمَاتِكَ يَوْمَ تُسَوِّدُ وُجُوهَ أَعْدَائِكَ
f. Contoh niat wudhû' (dibaca dalam hati ketika air pertama kali menyentuh bagian wajah)
نَوَيْتُ الْوُضُوءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلأَصْغَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
g. Ketika membasuh tangan kanan
اللَّهُمَّ أَعْطِنِي كِتَابِي بِيَمِينِي وَحَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا
h. Ketika membasuh tangan kiri
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ تُعْطِيَنِي كِتَابِي بِشِمَالِي أَوْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
i. Ketika hendak mengusap sebagian kepala
اللَّهُمَّ غَشِّنِي بِرَحْمَتِكَ وَأَنْزِلْ عَلَيَّ مِنْ بَرَكَاتِكَ وَأَظِلَّنِي تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِكَ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّكَ


j. Ketika mengusap dua telinga
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِِي مِنَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ اللَّهُمَّ أَسْمِعْنِي مُنَادِيَ الْجَنَّةِ فِي الْجَنَّةِ مَعَ اْلأَبْرَارِ
k. Ketika mengusap tengkuk (menurut qoul dho'îf / pendapat yang lemah)
اللَّهُمَّ فُكَّ رَقَبَتِي مِنَ النَّارِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ السَّلاَسِلِ وَاْلأَغْلاَلِ
l. Ketika membasuh kaki kanan
اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمَيَّ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ اْلأَقْدَامُ
m. Ketika membasuh kaki kiri
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ تَزِلَّ قَدَمَايَ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ أَقْدَامُ الْمُنَافِقِينَ فِي النَّارِ
n. Doa setelah selesai wudhû'
أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

8. Hikmah / Falsafah Wudhû’
a. Hikmah / falsafah yang berkaitan dengan lahiriah
Yang pertama kali dibasuh adalah kedua telapak tangan karena merupakan anggota tubuh yang paling sering digunakan untuk menyentuh sesuatu seperti berjabat tangan, menampar, dan sebagainya. Kemudian berkumur karena mulut merupakan sumber bau yang keluar dari perut. Selain mengeluarkan bau tak sedap, di dalam mulut juga terdapat bekas-bekas makanan yang terselip di antara gigi-gigi. Dan juga untuk mengetahui bau air, apakah berubah dari keadaan asalnya atau tidak.
Kemudian memasukkan dan mengeluarkan air dari hidung untuk menghilangkan bau dan kotoran yang ada di dalamnya. Selain itu juga untuk mengetahui bau air. Lalu membasuh wajah untuk membersihkan keringat dan debu, karena wajah merupakan anggota yang pertama kali dilihat ketika bertemu dan berhadap-hadapan. Setelah itu membasuh kedua tangan. Hikmah membasuhnya adalah karena kedua tangan selalu terbuka sehingga sangat memungkinkan banyak kotoran yang menempel. Kepala diusap karena merupakan sumber keringat yang cepat keluar. Alloh tidak mewajibkan membasuh kepala karena adanya kesulitan.
Setelah itu mengusap kedua telinga untuk menghilangkan debu yang terbawa angin. Lalu mengusap tengkuk (bagian belakang kepala) agar bagian-bagian kepala menjadi bersih secara sempurna. Selanjutnya membasuh kedua kaki karena tempat menempelnya kotoran, khususnya yang terjadi pada orang-orang yang memakai sepatu. Ini seringkali terlihat pada orang-orang Eropa dan orang muslim yang tinggal di Eropa yang tidak sholat.

b. Hikmah / falsafah yang berkaitan dengan batiniah
Tujuan membasuh anggota wudhû' adalah untuk menghilang dosa-dosa yang diperbuat oleh anggota tersebut; membasuh kedua tangan dapat menghilangkan dosa-dosa yang berhubungan dengan tangan karena tangan adalah alat untuk memukul, menampar, dan lain sebagainya. Berkumur dapat menghilangkan kotoran (dosa) membicarakan orang lain (ghîbah) dan mengadu domba (namîmah), karena ghîbah memiliki bau yang sangat busuk seperti bangkai yang dapat tercium oleh orang-orang yang diberikan keimanan yang benar dan hati yang bersih oleh Alloh SWT.
Begitu pula telinga yang merupakan anggota tubuh yang mendengar ucapan jelek dan tidak berguna. Hidung dibasuh karena merupakan anggota tubuh yang mencium bau yang tidak sedap. Dan juga wajah yang memiliki mata, dibasuh karena mata adalah anggota tubuh yang melihat aurat dan hal-hal yang diharamkan. Kedua kaki dibasuh karena keduanya melangkah untuk perjalanan yang diharamkan seperti pergi ke tempat maksiat, toko minuman keras, dan tempat-tempat ghîbah dan namîmah.

B. MANDI
1. Definisi Mandi
Secara bahasa, mandi (ghusl) berarti mengalirkan air atas sesuatu. Sementara menurut syari'at, mandi adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan niat tertentu

2. Hal-hal yang Menyebabkan Mandi
a. Bertemunya dua khitan (alat kelamin) laki-laki dan perempuan (bersetubuh).
b. Keluar mani
c. Haidh
d. Nifas
e. Melahirkan
f. Mati

3. Kefardhuan Mandi
a. Niat
b. Menghilangkan najis yang ada pada badan
c. Meratakan air ke seluruh kulit dan rambut

4. Kesunatan Mandi
a. Membaca basmalah
b. Berwudhû' sebelum mandi
c. Menggerakkan tangan pada anggota badan yang dapat dijangkau
d. Mendahulukan anggota badan sebelah kanan daripada sebelah kiri
e. Berturut-turut / terus menerus

5. Hikmah / Falsafah Mandi
a. Mandi Setelah Keluar Mani / Sperma
Alloh mewajibkan untuk mandi setelah keluar air mani, bukan setelah keluar air seni, padahal keduanya (air mani dan seni) keluar dari anggota tubuh yang sama. Hal ini karena terdapat hikmah dan rahasia yang mengagumkan;
Air seni berasal dari sisa-sisa makanan dan minuman, sedangkan mani adalah cairan yang berasal dari seluruh bagian-bagian tubuh. Oleh karena itu, keluarnya mani menyebabkan efek / berdampak terhadap tubuh, berbeda halnya dengan seni. Keluarnya mani dapat membuat lesu dan lemasnya tubuh sehingga mengakibatkan malas dan tidak dapat melaksanakan ibadah seperti yang diharapkan.
b. Mandi Setelah Haidh
Seperti halnya mani, haidh juga terbuat / berasal dari seluruh bagian tubuh wanita. Setelah keluar dari haidh, tubuh wanita akan menjadi lemas. Mandi setelah keluar haidh dapat mengembalikan kebugaran tubuh yang hilang ketika masa-masa haidh.
Selain itu, mandi setelah keluar haidh bisa menghilangkan bau tak sedap yang dapat membahayakan tubuhnya dan tubuh suaminya yang menyetubuhinya.

c. Mandi Setelah Nifas
Mandi nifas memiliki dua faidah. Pertama adalah faedah lahiriah, yaitu menghilangkan bau tak sedap yang timbul dari darah melahirkan. Kedua adalah faedah maknawiah, yaitu bersyukur kepada Alloh yang trelah menyelamatkannya dari bahaya melahirkan yang sudah maklum di kalangan wanita.

C. TAYAMMUM
1. Definisi Tayammum
Menurut bahasa, tayammum berarti al-qoshdu (tujuan/kesengajaan). Sedangkan menurut syara' tayammum berarti mengusapkan debu yang suci pada wajah dan kedua tangan sebagai pengganti dari wudhû', mandi, atau membasuh anggota dengan syarat tertentu

2. Dasar Tayammum
Artinya: "Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu". (Q.S. Al-Mâidah: 6)

3. Syarat-syarat Tayammum
a. Adanya 'udzur karena berpergian atau sakit
b. Masuknya waktu shalat
c. Mencari air
d. Tercegah menggunakan air
e. Debu yang suci

4. Kefardhuan Tayammum
a. Niat
b. Mengusap wajah
c. Mengusap kedua tangan samapi dengan siku
d. Tertib
5. Kesunatan Tayammum
a. Membaca basmalah
b. Mendahulukan tangan kanan daripada tangan kiri
c. Berturut-turut / terus menerus

6. Hal-hal yang Membatalkan Tayammum
a. Hal-hal yang membatalkan wudhû'
b. Melihat air di luar waktu shalat
c. Murtad

7. Hikmah / Falsafah
Debu dipilih sebagai pengganti air karena di antara keduanya terdapat banyak kesamaan dan hubungan yang erat. Allah menjadikan setiap sesuatu yang hidup dari air, sedang tanah merupakan materi asal penciptaan manusia (Adam). Jadi penciptaan manusia melibatkan dua unsur, yaitu tanah dan air.
Makanan pokok, baik manusia atau hewan, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hidup dan berkembang biaknya tumbuh-tumbuhan sangat tergantung adanya dua hal, yaitu air dan tanah. Keduanya juga sangat mudah didapat di seluruh penjuru bumi. Ini sejalan dengan prinsip dalam syariat yang selalu berusaha agar mudah dijalankan dan tidak memberatkan.
Anggota tubuh yang diusap dalam tayammum berbeda dengan wudhû'. Begitu pula aktifitas dalam tayammum berbeda dengan aktifitas dalam mandi. Padahal tayammum sebagai ganti dari keduanya. Apa hikmah dari perbedaan tersebut?
Mengusapkan debu ke kepala dipandang sebagai sesuatu yang buruk, karena hal ini menjadi kebiasaan yang dilakukan manusia yang tertimpa musibah meninggalnya seseorang sebagai ekspresi perasaan tidak menerima takdir Ilahi. Sedang kaki senantiasa bersentuhan dengan debu dalam setiap aktifitasnya.
Tayammum disyariatkan untuk menghindarkan manusia dari kesulitan ketika ada halangan menggunakan air. Maka, gerakan tayammum perlu dibuat lebih sedikit dan ringan agar tujuan utama dalam tayammum tetap terjaga. Seandainya gerakan tayammum disamakan dengan mandi yang wajib meratakan ke seluruh bagian tubuh, niscaya hal ini akan menambah berat perintah besuci, dan hilanglah tujuan utama disyariatkan tayammum.


DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Malîbâri, Zainuddîn bin ‘Abdul ‘Azîz, Fathul Mu’în (Dârul Fikr, 2002)
2. Bin Salâmah, Syihabuddîn Ahmad bin Ahmad, Hasyiyah Qolyûbi (Dârul Fikr, 2005)
3. Al-Jâwî, Muhammad Nawawî bin Umar, Qûtul Habîbil Gharîb (Dârul Fikr, 1996)
4. Al-Mahallî, Al-Imâm Muhammad bin Ahmad, Kanzur Rôghibîn (Dârul Fikr, 2005)
5. As-Syafi’i, Al-Imâm Muhammad bin Qôsim, Fathul Qorîbil-Mujîb (Dârul Fikr, 1996)
6. Bin 'Abdullôh, As-Sayyid 'Utsmân, Maslakul Akhyâr (Syirkah Maktabah Al-Madaniyyah)
7. Bin Syarof, Al-Imâm An-Nawawi Yahyâ, Minhâjuth Thôlibîn (Dârul Fikr, 2005)
8. Al-Jurjâwiy, As-Syaikh 'Ali Ahmad, Hikmatut Tasyrî' Wa Falsafatuhu (Dârul Fikr, Lebanon)
9. Lirboyo, Forum KALIMASADA MHM, Kearifan Syariat (Surabaya, Khalista-Annajma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar