Senin, 11 Oktober 2010

Tasawuf Falsafi


TASAWUF FALSAFI
A.  DEFINISI
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullôh) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujûd (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang hal ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.

B.  LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN
Ada tiga konsep tentang ketuhanan yang berakar pada Al-Qur'ân dan Hadîts. Pertama, konsep etikal yang dipelopori dan berkembang di kalangan zuhhâd sebagai bibit permulaan timbulnya tasawuf. Dzat Tuhan dianggap sebagai kekuasaan, daya, dan irâdat  yang mutlak. Tuhan adalah pencipta yang tertinggi dari segala sesuatu termasuk tingkah laku manusia. Kedua, konsep estetikal, yaitu tentang Tuhan dalam estetika (keindahan), di mana tasawuf bersumber dari anggapan bahwa Tuhan dan manusia berjalur timbal balik. Konsep ini pertama kali dimunculkan oleh Rabî'atul Adawiyah di mana rasa kecintaan yang luar biasa kepada Tuhan adalah karakteristik konsepsi ini. Jadi menyembah Tuhan itu ingin mendapat sambutan cinta dari-Nya.
Ketiga, konsep kesatuan wujud (union mistikal), yaitu bahwa dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan karena ia merupakan pancaran dari Nûr Ilâhi. Oleh karena itu jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk kembali bersatu dengan sumber asalnya. Jadi dunia ini hanyalah bayangan dari realita yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang menjadi dasar bagi adanya segala yang ada.[1]
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi, yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf falsafi adalah paham emanasi (pelimpahan) Neo-Plotinus. Contoh filosof muslim yang terkenal membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep Neo-Plotinus ialah Al-Kindi. Dalam filsafat emanasi Plotinus, roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi dan berusaha. Dari sini ditarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhôhir dari asmâ Tuhan.
Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi wihdatul wujûd sebagai karya pikir mistik Ibn Arabi. Sebelum muncul teori Ibn Arabi, seorang sufi penyair dari Mesir Ibn al-Fâridh mengembangkan teori yang sama yaitu wahdatus syuhûd. Pada umumnya konsep ini diterima dan berkembang dari kaum Syî’ah dan bermadzhabkan Mu’tazilah. Makanya nama lain dari tasawuf falsafi juga disebut dengan tasawuf Syî’i. Diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, karena dimungkinkan di sana sudah mengenal filsafat sebelum Islam.
Seperti halnya dalam konsep emanasi, Ibn Arabi menggunakan bentuk pola akal yang bertingkat-tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga dan sampai akal kesepuluh. Di mana ia mencoba menggambarkan bahwa proses terjadinya sesuatu ini berasal dari yang satu (kalau meminjam bahasanya Plotinus ialah The One). Kemudian konsep itu terus disempurnakan bahkan mengalami kritikan dari sufi-sufi yang lain. Contoh sufi yang memperbarui konsep ajaran Ibn Arabi ini ialah Mulla Shadra yang lebih mencoba menggunakan konsep yang rasional dengan istilah Nûr yang mana ia mencoba merujuk dari Al-Qur’ân sendiri bahwa Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya.
Akan tetapi Mulla Shadra membedakan cahaya ke dalam dua kategori, yaitu cahaya yang tidak mempunyai sifat dan cahaya yang menunjukkan sebuah sifat dari barang itu. Contoh cahaya yang menunjukkan sifat dari benda itu ialah cahaya lampu, matahari, cahaya lampu lalu lintas dan lain-lain. Sedangkan cahaya yang tak mengandung sifat benda ialah cahaya Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam bukunya, Syekh Ad-Durrun Nafîs menggambarkan bahwa nûr Tuhan bukan cahaya. Jadi nûr adalah nûr, bukan cahaya.
Bisa kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf falsafi muncul dari ketakjuban para filosof Islam yang mencoba mengombinasikan konsep ajarannya dengan tasawuf. Atau bisa dikatakan konsep tasawuf dikemas dan dipandang dari segi kacamata filosofis, sehingga memunculkan ajaran-ajaran yang sifatnya lebih ke teoritis dan tak lepas dari pengaruh dari konsep emanasinya Plotinus.[2] -[3]
C.  Tokoh-Tokoh
1.   Ibn ‘Arabi
a.  Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullôh Ath-Thâ’iy Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 598 H. (1102 M.). Beliau mengembara dari Andalusia (waktu itu disebut Maghrib atau Barat) ke Timur sesudah menuntut ilmu pengetahuan fiqih di Asybiliyah (Sevilla). Dia juga mengembara ke Mesir, Hijaz, Irak, dan Asia Kecil. Akhirnya dia tinggal sampai wafatnya di Damaskus negeri Syam pada tahun 638 H. (1240 M.).[4]
Kuburnya diziarahi orang sampai sekarang. Karangannya amat banyak, menunjukkan bagaimana luas ilmunya.
Brockelman mencatat di dalam bukunya (Sejarah Kesusastraan Arab) bahwa karangan Ibn 'Arabi itu tidak kurang dari 150 buah. Karangannya yang amat besar ialah "Al-Futuhât Al-Makkiyyah".
Ahli-ahli penyelidik mengakui kepiawaian beliau dalam memilih kata-kata, yang menggabungkan keagamaan denghan filsafat dan sirr (rahasia) yang disembunyikan oleh ahli tasawuf. Sehingga patutlah kalau beliau diberi orang gelar "As-Syaikh Al-Akbar" dan "Al-Kibrît Al-Ahmar" (Belerang Merah). Meskipun beliau seorang sufi yang besar, bila ditilik karangannya nampaklah dia seorang filosof yang mendalam. Sebab itu, jika ahli–ahli penyelidik membicarakan filsafat, Ibn 'Arabi terus dimasukkan, seumpama Al-Ghazâli juga. Dan jika mempelajari tasawuf, Ibn 'Arabi pun kembali masuk pula.

b.   Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn 'Arabi adalah tentang Wihdatul Wujûd (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wihdatul wujûd yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.
Terjadi perbedaan dalam memformulasikan pengertian wihdatul wujûd. Menurut Ibn Taimiyah, wihdatul wujûd adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya, orang-orang yang mempunyai paham wihdatul wujûd mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wâjibul wujûd yang dimiliki oleh Khâliq adalah juga mumkinul wujûd yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wihdatul wujûd itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama saja dengan wujud Tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn 'Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud Khâliq pula. Tidak ada perbedan antara keduanya (Khâlik dan makhluk) dari segi hakikatnya. Perbedaannya hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu. Dari konsep wihdatul wujûd Ibn 'Arabi ini, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan dan cabang dari konsep wihdatul wujûd tersebut, yaitu konsep Al-Haqîqat Al-Muhammadiyyah dan konsep Wahdatul Adyân (kesamaan agama).
Menurut Ibn 'Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:
  • Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yân tsâbitah.
  • Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’âni ke alam ta’ayyunât (realitas-realitas rohaniah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
  • Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
  • Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsâl (ide) atau khayâl.
  • Alam materi, yaitu alam inderawi.
Selain itu, Ibn 'Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhammadiyyah atau Nûr Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungan dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada apapun.
  • Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan, kemudian muncullah wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana dikemukakan di atas.
Dengan demikian Ibn 'Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (creatio ex nihilio).

2.   Al-Jilli
a.  Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karîm bin Ibrâhîm Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi dari sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qâdir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syaikh Syarofuddîn Ismâ'îl bin Ibrâhîm Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.

b.      Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham Insân Kâmil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, insân kâmil adalah nuskhah atau copy Tuhan.[5]
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilâhiyah pada dasarnya merupakan milik insân kâmil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insân kâmil.
Lebih lanjut Al-Jilli berkata bahwa duplikasi al-kamâl (kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia. Al-kamâl dalam konsepnya mungkin dimiliki manusia secara profesional (bil quwwah) dan mungkin pula secara aktual (bil fa'l) seperti yang terdapat dalam diri wali dan Nabi, meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Berkaitan dengan insân kâmil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqâm yang harus dilalui oleh seorang sufi. Dalam istilahnya, maqâm itu disebut al-martabah (jenjang/tingkatan). Martabah-martabah itu adalah:
  • Islâm. Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
  • Îmân. Yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar Islam.
  • Ash-Shalâh. Pada maqâm ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan rajâ’.
  • Ihsân. Maqâm ini menunjukkan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya.
  • Syahâdah. Pada maqâm ini, seorang sufi telah mencapai irâdah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang jadi keinginan pribadi.
  • Shiddîqiyah. Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap dari 'ilmul yaqîn, ‘ainul yaqîn, dan haqqul yaqîn.
  • Qurbah. Ini merupakan maqâm yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan mendekati sifat dan nama Tuhan.

3.   Ibn Sab'în
a.  Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrâhîm Muhammad bin Nashr. Dia pun sebagaimana Ibn 'Arabi juga, dilahirkan di Murcia (Andalusia) pada tahun 613 H. (1215 M.). Mulanya ia seorang ahli fiqih, kemudian tertarik pula mendalami tasawuf, sampai menjadi seorang imam dan mengeluarkan pendapat sendiri tentang tasawuf. Dia mengembara di negeri-negeri Islam setelah Barat. Setelah itu dia pun pergi menunaikan haji dan mengembara di negeri-negeri sebelah Timur dan akhirnya berdiam di Mekah, sampai wafatnya dalam usia 54 tahun.[6]
Tasawufnya menyerupai jalan Tasawuf Suhrowardi dan Ibn 'Arabi, gabungan antara filsafat dan tasawuf, sehingga bisa dikatakan bahwa dia adalah seorang filosof. Kehidupan dan buah pikiran beliau makin lama makin dipelajari oleh ahli-ahli Barat, dan pada masa akhir ini telah ditemukan surat-suratnya yang dikirimkan kepada Frederick II Raja Pruisen yang meninggal tahun 1250 M., yaitu Raja yang sangat terkenal besar perhatiannya kepada ilmu-ilmu dan filsafat Arab. Amari, orientalis bangsa Italia di tahun 1853 M. telah mengumpulkan surat-surat itu dengan nama "Surat-surat dari Sicilia". Dua puluh tahun kemudian, seorang orientalis berbangsa Denmark yang bernama Mahren menyelidiki dan membahas isi surat-surat itu.
Ibn Sab’în meninggalkan 41 buah karya dan menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis, dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan karyanya telah hilang.

b.   Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ibn Sab’în adalah seorang peng-asas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan essential pahamnya sederhana saja, yaitu wujud satu alias wujud Allah semata. Paham ini dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak (Al-Wahdah Al-Muthlaqah). Hal ini karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk.
Dalam pahamnya, Ibn Sab’în menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Wujud Allah, menurutnya, adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dirujukkan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, paham ini menampilkan wujud bercorak spiritual dan bukan material.

4.   Ibn Masarrah
a.  Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdullôh bin Masarrah (269-319 H.). Ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosof dari Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap madzhab Al-Mariyah. Lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Musthafâ Abdul Râziq, Ibn Masarrah termasuk aliran ittihâdiyyah. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazilah, lalu berpaling pada madzhab Neo Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno.

b.   Ajaran-ajaran Tasawufnya
Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut:
·         Jalan menuju keselamatan adalah mensucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
·         Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Ismâ’îliyyah terhadap ayat-ayat Al-Qur’ân, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
·         Siksa neraka bukanlah bentuk yang hakikat.














DAFTAR PUSTAKA
  1. Akhlak Dan Tasawuf , Drs. H. Ishak Solih (IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung)
  2. Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Prof. Dr. Hamka (PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984)
  3. http://mesw.wordpress.com/2007/12/30/tasawuf-filsafat/
  4. http://slendangwetan29.blogspot.com/2008/02/tasawuf-falsafi.html
  5. http://prosesberfikir.blogspot.com/2010/02/resume-ilmu-tasawuf.html


[1] Ishak Solih, Drs. H., Akhlak Dan Tasawuf (IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung), hal. 83
[4] Hamka, Prof. Dr., Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya (PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984), hal. 152
[6] Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, hal. 163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar